Wednesday 3 December 2008

Guru dan Kondisi Konflik

tulisan dari KGI
oleh: YUNUS SITUMORANG
posted by Pandapotan Harahap

PADA tahun 70-an saya punya teman-teman yang kuliah di ITB asal Malaysia. Salah seorang bernama Shufaat bin Ismail. Ia juga aktif di Himpunan Mahasiswa Matematika ITB tempat saya menjadi ketua saat itu. Mereka diberi asrama layak, biaya hidup, uang saku, buku-buku dapat dibeli semua, termasuk biaya fotokopi. Wah, ideal sekali, padahal saya hanya dapat bantuan beasiswa SKS, itu pun karena orangtua petani.

Setelah diwisuda, mereka pulang ke Malaysia. Baru mengajar beberapa tahun, mereka kuliah S2 dan S3 di Inggris. Sekarang mereka sudah jadi guru besar, dan universitas yang baru dibangun tahun 70-an sekarang jauh lebih besar dari universitas di Indonesia. Suatu waktu saya kirim surat kepada Shufaat. Ia membalas, mengundang saya kalau mau pindah ke Malaysia. Ia mengerti sulit hidup di Indonesia.

Beberapa waktu lalu, seorang siswi kelas tiga SMA PGRI Jatinangor, Resti Setiawati (17), mogok tak mau sekolah setelah ditempeleng dengan buku oleh guru matematikanya. Itu hanya gara-gara Resti tak bisa menyelesaikan soal di depan papan tulis. Waktu ditanya nol dikurangi satu berapa, Resti menjawab 10 sambil mengangkat ujung roknya sehingga Ibu Guru Sri mungkin menganggap pelecehan, lalu muka Resti dikebas dengan buku. Resti disuruh duduk. Tapi Bu Sri masih menghampiri Resti lalu mengusapkan penghapus white board ke muka sehingga muka Resti berbedak hitam. Sikap Ibu Sri menurut orang yang mengenalnya adalah guru yang tegas.

Pada tahun 60-an, waktu saya sekolah di SMA RK Budi Mulia Pematang Siantar, Sumatra Utara, kami juga mendapat seorang guru yang tegas. Ia melarang muridnya merokok baik di dalam maupun luar sekolah. Nama guru ini Thomas Phoa Hong Liem. Ia sarjana muda Sanata Dharma Yogyakarta. Beliau kontrak kerja dengan sekolah kami.

Teman saya Rudolf Simanjuntak satu saat tertangkap basah merokok. Oleh Pak Thomas, ia dihukum membuat poster ukuran 30 kali 30 Cm, dengan tulisan "Murid SMA RK Budi Mulia Dilarang Merokok". Besok paginya dengan gagah kawan saya ini menyerahkan tugasnya, tergulung, ukuran kertas gambar 30 kali 30 Cm, tapi isinya? Rudolf menggambar sampul rokok Union produksi Pematang Siantar, yang juga sekarang memproduksi beberapa rokok terkenal luar negeri, dengan tulisan: "Isaplah Rokok Union".

Kami berbaris rapi setiap pagi sebelum masuk kelas. Sekolah kami dua lantai, guru-guru berbaris di balkon. Pak Thomas ini juga menjabat Wakil Kepala Sekolah. Kepala sekolah kami seorang Bruder bernama BPC Van Gills. Saat berbaris Pak Thomas mengacung-acungkan poster hasil karya Rudolf, lalu pak Thomas berkata kepada Kepala Sekolah disaksikan semua guru dan murid, "Kepala Sekolah, silakan memilih, saya (Thomas) yang keluar dari sekolah ini atau dia (Rudolf) yang keluar dari sekolah ini."

Teman saya Rudolf dan Kepala sekolah atau siapa pun tidak memperkirakan bahwa demikianlah sikap tegas seorang guru, mempertaruhkan pekerjaan dan jabatannya hanya untuk mendidik murid-muridnya.


Contoh-contoh mempertaruhkan jabatan demi moral sangat banyak. Ada teman saya seorang rektor. Pada waktu penerimaan mahasiswa baru, seorang bendahara yayasan minta print out dulu hasil ujian saringan masuk sebelum dibawa ke rapat penentuan siapa-siapa yang diterima. Sang rektor menganggap ini pembocoran. Kok ada orang boleh membaca lebih dahulu hasil tes, sedangkan rektor sendiri tak minta.

Pada waktu akan ada pergantian pengurus yayasan, sang rektor minta bendahara yayasan itu jangan dimasukkan lagi menjadi pengurus yayasan. "Kalau tetap di yayasan, saya sebagai rektor mundur," katanya kepada Dewan Pengawas.

Dalam kasus Pak Thomas versus Rudolf, Rudolf yang mengalah sehingga ia pindah ke SMA lain, dan kasus rektor versus bendahara yayasan, rektorlah yang kalah. Rektor diganti dan diangkatlah orang lain jadi pjs rektor. Kasus Resti dengan guru matematika Ibu Sri, Resti yang mengalah, mogok sekolah. Kasus Presiden Soekarno versus Wapres Mohamad Hatta, dalam sistem Demokrasi Terpimpin, Hatta yang akhirnya mengundurkan diri.

Memang sikap tegas seorang guru bukan berarti ia harus angker. Guru saya, Pak Thomas, tidak segan-segan mentraktir murid-muridnya minum es puter. Bahkan kalau saya mempunyai persoalan matematika, saya mendatangi rumah Pak Thomas, lalu dengan terbuka beliau memberikan arahan dan mengajari saya.

Pak Thomas hafal nama semua murid. Di luar kelas pun dengan cepat ia bisa menyapa murid langsung menyebut nama murid. Kalau ada murid yang absen saat ia mengajar, pada waktu istirahat pertama atau kedua, Pak Thomas mendatangi rumah murid, lalu menyuruh murid masuk kelas kalau memang murid itu tidak sakit.

Hingga kini saya belum pernah mendengar lagi ada kegigihan seorang guru seperti Pak Thomas. Mungkin Ibu Sri dapat melakukan hal yang sama, agar Resti tak selamanya mogok sekolah.

Terkait soal konflik tersebut, sebenarnya sangat banyak kasus ketika orang tidak kuat berada dalam kondisi konflik, baik itu konflik kepentingan maupun konflik idealisme. Namun ada dan masih banyak guru yang dengan sejujurnya ingin berbuat terbaik di negeri ini, meskipun konflik terus ada. Sayangnya, situasinya sampai saat ini belum begitu kondusif, banyak yang tidak bisa keluar dari situasi ini.

Teman saya Shufaat bin Ismail memberi jalan, keluarlah dari Indonesia, tapi hati saya mengatakan akan berjuang sampai ada kemajuan di negeri ini. Nyatanya kemiskinan malah bertambah. Kapan akan selesai? Apakah pergunjingan, perdebatan, dan demo tentang anggaran pendidikan 20 persen masih akan berlanjut? Sampai kapan dan kapan kita dapat mewujudkan masyarakat yang sejahtera lahir dan batin? Ternyata perjuangan masih panjang. (*)


Sumber: tribun jabar

No comments: